0

hehehehe

Posted by Unknown in
waktu SMA, klo guru kasi soal yg susah, pasti saya bilang begini "ini guru, na kira ki' kapang mahasiswa..."
sekarang, klo dosen kasi soal yg susah, saya bilang begini "ini dosen, na kira ki' kapang dosen juga"
nah lhoo?????

0

mauka' liat ko.!

Posted by Unknown in
kemarin aku melihatmu, tersenyum d depan sana . aku selalu suka itu . kemarin aku mendengar suara mu . tawa mu . itu kemarin .

tapi hari ini aku tidak beertemu dengan mu lagi . sepertinya aku mulai benci dengan hari sabtu, minggu, dan hari libur yg lain . karna aku tidak bisa bertemu dengan mu .

itu jh mau sy bilang . heheheh

:)

0

biarkan saja

Posted by Unknown in
biar saja malam menggulung gelapnya . dan biarkan siang angkuh dengan sinarnya . namun d sudut sepi ku akan tetap terjaga . membiarkan lentera hatiku terus menyala . biarkan saja bersinar, menjaga rasa yang mengendap perlahan .

biarkan saja semua tidak peduli . biarkan saja kau tdk pernah tau . biar saja ! karna aku akan terus terjaga, menemani hati yang sepi . biarkan saja seperti itu .

aku diam di sini menunggu . jawaban apa yang kan menghampiri . menunggu sesuatu yang sebenarnya tak pasti . biarkan saja . karna aku cukup senang mengamati dari arah ini . biarkan saja !

0

aku suka

Posted by Unknown in
aku suka pada setiap goresan tangannya . aku suka pada setiap tutur katanya . aku suka pada semua tingkahnya . aku suka pada caranya berbicara . aku suka pada caranya melangkah . aku suka pada gerak tubuhnya . aku suka pada semua tentang dia .

aku suka pada sikap cueknya . aku suka pada keangkuhannya . aku suka bahkan pada setiap kesalahannya . aku suka pada tingkah 'tolo' nya . aku suka pada wajahnya yang biasa-biasa saja . aku suka pada gaya 'ongol' nya . aku suka pada setiap kekurangan yang dia miliki .

aku suka dia !

0

bintangku

Posted by Unknown in
kemarin malam saya liat bintang, terang....!
bukan, bukan bintang yang berkedip dilangit.
ini bintangku.!
bintang yang hadir di gelap malamku.!
sekali lagi, ini bukan tentang bintang yang selalu ada di langit malam bersama bulan, bukan yang itu.!
dia adalah bintang yang bersinar di hatiku, dan selalu memantulkan cahaya di antara resah duniaku.
ini tentang dia, bintang hatiku.!
dan kemarin malam saya liat dia, di bawah cahaya bulan, jelas sekali.!
senang.?
nassamih.....
:)
bahkan saya hampir lupa untuk berkedip...
:P

0

untuk mereka

Posted by Unknown
aku merindukan mu kawan . masih terasa hangatnya pelukan mu yang membuatku bisa bertahan . aku merindukan mu kawan . masih ku ingat tawamu yang selalu mengisi hari ku . aku merindukan mu kawan . bahkan di saat aku berada d tengah keramaian, aku merasa sepi tanpamu . aku membutuhkan mu kawan . bahkan sampai sekarang saya rela ‘rugi’ (rugi toh, berteman sama orang2 nd’ waras ky’ kalian :D ) untuk bisa tetap berdiri di sampingmu, andai kau masih bisa ku raih.

aku menyayangi mu kawan . bahkan lebih dari diriku sendiri . aku mungkin bisa berdiri tanpa kamu, tapi untuk bertahan? aku yakin tdk akan bisa . aku menyayangi mu kawan, seperti sayang nya jack pada rose d titanic ( cocok mh namanya kah? :P )

maaf kawan, aku mungkin sahabat yang tidak baik . karna aku tak selalu ada untuk mu . saya tidak hadir d bandara waktu rani mau berangkat ke jogja . saya tidak hadir d mtos waktu ultah nya suchi . saya tidak hadir d bandara waktu suchi berangkat ke madiun . dan yang paling parah, saya tidak hadir waktu uthy nangis krn tdk d terima snmptn ( swry, d ungkit lagi ). maaf kawan, bukan berarti saya nd’ peduli . saya hanya lengah . mungkin waktu itu saya cuma berkedip, atau nunduk untuk ikat tali sepatu ku .

aku masih menyayangimu kawan . ini bukan hanya sebatas kalimat, tapi ini lahir dari hati . aku masih menyayangi mu kawan, hanya tinggal katakan padaku kalo ada yang ambil setengah nyawa mu , saya masih rela berdarah untuk bunuh itu orang supaya jelas hidup mu . saya yang bakalan ukir senyum dan lukis tawamu kalau kau butuh bahagia . aku masih menyayangi mu kawan, masih...!

aku membutuhkan mu kawan . karna aku tidak tau akan bersandar kemana saat ku rapuh . karena saya nd’ tau mau pegang tangan.y siapa lagi . aku membutuhkan mu kawan . karena aku tak tau harus berbagi kemana semua cerita yang sampai saat ini masih kusimpan sendiri . aku masih membutuhkan mu kawan . masih, bahkan hingga detik ini.!
aku menunggu mu kawan . menunggu stiap bait cerita mu seperti yang pernah kita lakukan dulu . aku menunggu mu kawan . menunggu waktu yang pernah sangat indah untuk kita . menghabiskan setiap detik bersama ( biar untuk hal2 nd’ penting sebenar.y, seperti kerjasama untuk hancurkan ranjang nya uthy yang baru di bersihkan, atau gantian tarik rambutnya suchi, atau mungkin untuk gosipi orang :D ) tidak penting nya pale’ kegiatanta’ dulu di’. ? tapi sumpah, aku merindukan semua itu kawan . semuanya.!
Jadi kupersembahkan tulisan ini untuk mereka, yang selalu hadir dalam kenangan d sepotong hatiku. Mufthihaturrahma, Suchi Kurnianti, Nurthahirani. Aku masih disini menunggu mu kawan, menunggu kau kembali dengan segala kesuksesan mu, tapi tetap dengan diri mu yang kukenal. Jangan memang ko ada berubah.! ( dengan mata melotot dan telunjuk teracung, ibu ati kapang :) )

0

dear mr.N

Posted by Unknown in ,

sayang,
aku mulai lelah berdiri disini untuk menunggumu . jadi jangan heran bila suatu saat nanti kau kembali dan tidak menemukanku lagi di tempat ini .
sayang,
aku selalu merindukanmu, selalu menanti harapan yang tak pernah ku tau d mana ujungnya . tapi kau tak pernah berbalik, membuatku lebih lama menunggu . hingga aku mulai bosan dan memutuskan untuk menyerah.
sayang,
rasa yang pernah tertanam di hatiku nyaris sirna terkikis waktu . bahkan aku hampir lupa bagaimana aku bisa ‘pernah’ mencintaimu .yang tersisa hanyalah setitik kenangan yang akan kuhabiskan dalam tulisan ini .
 sayang,
kini aku bisa mengerti mengapa tak bisa kau pertahankan janji kita dulu . ternyata ada detik yang terus berlalu d sekitar kita, yang bisa benar-benar menggerogoti rasa . masalah kita sama, titik jenuh kita sama, hingga terlalu naif rasanya jika aku mengatakan “aku masih menunggu”.
sayang,
maaf jika aku katakan, aku tak lagi mencintaimu . itu karna kamu yang membuatku harus merasakan hal itu . jadi izinkan aku untuk mulai mencintai orang lain, tanpa harus berdusta bahwa aku pernah benar-benar mencintaimu .
dear Mr.N,
selamat tinggal untukmu dan segala kenangan itu....!

0

resah

Posted by Unknown in


jika kuungkapkan resahku, relakah kau berbalik sejenak, menata hati yang tersudut perih

jika kuungkapkan perihku, masihkah ku pantas tuk berharap kau berdiri disini

rinduku terbang terbawa angin, jatuh berderai bersama hujan

aku tersesat dalam jenuhku, berharap hati kan menyatu

resahku menjadi perih abadi, karena hati tak juga bersemi....

0

yang terlupakan

Posted by Unknown in

“Hoahhmm……”
Aku mendengar suara halus, pertanda orang yang sedang menguap. Lalu Kulihat dia keluar dari kamarnya dengan mata masih mengerjap, Dia masih mengantuk. Tapi hanya ssaat, karena detik berikutnya Dia hanya menggosok matanya sebelum beranjak ke belakang asrama dan membuka pintu kamar mandi. Aku masih terus menatapnya sampai Dia masuk. Rupanya Dia hanya ingin buang air, batinku maklum. Tapi ketika Dia keluar, Kulihat wajahnya telah berseri, tak nampak lagi wajah sayunya, dan wajahnya basah, dia cuci muka! Aku masih menatapnya heran. Apa yang Dia lakukan?
Kulihat Dia masuk kekamarnya kembali. Aku masih memperhatikan setiap geriknya. Entah kenapa, Aku senang sekali menyaksikan setiap aktivitas gadis ini. Kemudian Kulihat Dia menggelar sajadah, sebelum mengenakan mukenah dan shalat. Aku menatapnya lagi, heran. Aku belum melihat tanda-tanda shubuh, bahkan suara adzan pun belum terdengar, dan tentunya ketukan pintu Ibu Zainab belum terdengar pula. Lalu shalat apa yang dilakukan gadis ini?
Ah!! Aku ingat!! Ibu Zainab pernah shalat seperti ini, dan Aku melihatnya. Kupikir hanya orangtua saja yang suka melaksanakannya. Tapi ternyata gadis ini juga mengerjakannya. Ya…. Shalat lail. Kutatap Dia yang masih khusyu dengan Tuhan didalam sujudnya. Ah!! Siapa nama gadis ini?
Aku masih terus bertanya-tanya sampai Bu Zainab datang dan mengetuk pintu, tepat saat gadis itu mengakhiri do’anya.
“Aisyah, tolong bangunkan teman-temanmu…” Ucap bu Zainab dari sela pintu yang sedikit terbuka.
“Iya,Bu…” Jawabnya.
Ah!! Nama gadis ini Aisyah, nama yang indah. Seindah wajah dan tingkahnya. Aku makin suka melihatnya. Aku masih terus mengamatinya hingga dia keluar dari kamar.
* * * * * * * * * * *

Hari terus berganti, dan Aku masih terus mengamati tingkah polanya. Aku sdikit banyak sudah tahu tentang gadisku ini. Aisyah. Dia duduk di tahun terakhir Madrasah Aliyah Pesantren ini. Dan dia anak orang kaya. Terbukti dari Ayahnya yang bermobil mewah, yang datang seminggu sekali bersama ibunya. Tapi kulihat dia tidak sombong, dia terlihat biasa-biasa saja saat bergaul dengan temannya. Lihatlah, sekarang dia barusaja pulang sekolah sambil bercanda dengan beberapa gadis yang lain. Senyumnya sungguh indah. “Ya Rabb….berkahilah gadisku ini” batinku berdo’a.
Gadisku semakin sibuk, dia hampir tidak punya waktu luang. Dia selalu memanfaatkan waktunya untuk belajar. Wajahnya semakin tirus, tapi aku semakin senang mengikuti segala aktifitasnya. Sekarang dia sedang membaca kalam Allah setelah tahajjud panjangnya. Aku yakin, sebentar lagi dia akan beranjak dan mengambil bukunya, belajar. Benar saja. Sekarang dia melipat mukenahnya sebelum menyentuh buku-buku tebal yang berjejer rapi di rak bukunya. Ah! Aisyah, betapa indahnya ciptaan tuhanku ini.
Entah mengapa, sejak pertama kali aku melihatnya, aku mulai memilki kebiasaan rutin. Aku selalu mengamatinya semampuku. Aku seperti larut dalam pesonanya, aku tak pernah menemukan gadis seperti dia sebelumnya.

* * * * * * * * * * *

Hari ini mendung, tapi gadisku tetap bersemangat mengikuti bimbingan belajarnya. Dia semakin sibuk saja, ujian sebulan lagi dan gadisku sangat bersemangat. Dia memang selalu bersemangat dalam setiap kegiatan. Tapi sesibuk apapun, dia selalu bersujud disetiap tahajjud panjangnya. Dan aku juga selalu setia menekuri setiap aktivitasnya. Sekarang, aku akan menunggu dia pulang untuk shalat ashar, dua jam lagi. Detik-detik jam seperti enggan berdetak, lama sekali gadisku datang.
Ah!! Itu dia!! Seperti biasa, berjalan diantara gadis-gadis lain sambil tertawa-tawa. Ah, aku semakin kagum padanya. Kulihat dia mendekati seorang anak kecil yang duduk dibawah pohon dan merogoh sakunya sebelum memberikan sesuatu pada anak kecil itu. Gadisku tersenyum melihat anak kecil itu berlari kegirangan. Betapa mulianya gadisku ini. Aku masih berdiri menanti gadisku datang. Tapi dia berbelok arah menuju gerbang. Mau kemana dia bersama teman-temannya? Aku ingin melihat kearah mana ia pergi, tapi pandanganku tak bisa melihatnya lagi.
Lama aku menunggu, menanti dia kembali. Apa yang dilakukannya disana? Gerimis mulai turun semakin deras. Dia muncul diantara gerimis, berlari. Aku lega melihatnya kembali. Kuamati dia membuka sepatunya dengan tergesa-gesa. Hei……. Kenapa dia terlihat sangat terburu-buru? “Brakk…..” ah… dia membanting pintu. Marah! Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Ada apa?Kulihat teman-temannya mulai memasuki kamar dengan ekspresi yang sama. Ada apa ini?
“Aku tidak suka melihatnya! Apa yang ada difikirannya sehingga dia berani datang dengan pakaiannya yang seperti itu?” teriaknya marah.
“Aisyah, sudahlah. Mungkin pengetahuan agamanya belum kuat.” Hibur Anis.
“Dia tiga tahun belajar di pesantren ini! Aku tidak mau berteman dengan dia!” gadisku semakin marah. “Tidak mungkin dia tidak paham akalau jilbab itu wajib!” Tambah farhah yang sama marahnya dengan Aisyah.
“Sudahlah! Nanti jadi ghibah.” Maya berhasil mengatasi suasana yang mulai memanas.
Terlihat kelompok kecil mereka bubar, beranjak mengambil air wudhu, tepat saat adzan ashar menggema. Aku mulai mengerti, betapa kuat gadisku ini memegang syariat islam. Aku semakin bangga padanya.

* * * * * * * * * * *

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hari ini gadisku terlihat rapi dengan seragamnya yang serba tertutup. Kulihat dia sedikit gugup sebelum beranjak menuju ruang ujian. Hari ini hari pertama UN, membuat gadisku sedikit gugup dan semakin sering mengadu pada Tuhan. Tadi malam kembali kuamati dia alam sujud panjangnya.
“Ya Allah, tebarkanlah rahmatMu padanya….” Doaku untuknya setiap hari. Ah, betapa aku mengagumimu, gadisku.
Suasana ujian tampak sangat jelas bagi gadisku. Tak ada lagi waktu untuknya bercanda dengan temannya. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan rutinitas belajar. Dan aku masih selalu mengamati setiap kegiatannya. Entah mengapa aku tak pernah bosan melihatnya.
Aku selalu mengantarnya dengan doaku disetiap pagi, saat akan berangkat sekolah. Aku masih setia menemaninya dalam setiap sujud panjangnya di malam hari. Aku tak pernah bosan mengamatinya berkutat dengan buku-buku yang berjejer rapi di rak bukunya. Aku tak pernah bosan!

* * * * * * * * * * *

Waktu terus berjalan, ujian telah berakhir. Kulihat gadisku mengemasi barangnya sambil sesekali menyapa temannya yang pergi satu persatu. Kulihat sebuah mobil memasuki gerbang. Itu mobilnya, aku tahu itu.
Gadisku keluar, mengangkat beberapa barang yang langsung disambut oleh seorang lelaki tua, supirnya. Gadisku berhenti sejenak, sebelum membuka pintu mobilnya. Dia memandang kearahku sambil tersenyum singkat. Tersenyum pedih. Lihatlah, gadisku menitikkan air mata. Dia menangis!
Kulihat air matanya mengalir semakin deras. Ingin rasanya aku mendekapnya dan menghapus air matanya. Tapi kuhanya bisa diam disini, tanpa bisa melakukan apa-apa sampai dia menghapus air matanya dan tersenyum sedih ke arahku, sebelum masuk ke mobilnya.
Aku hanya memandang mobil itu bergerak keluar tanpa bisa melakukan apa-apa. “Selamat jalan gadisku! Semoga kesuksesan selalu menyertaimu!”

* * * * * * * * * * *

Aku kembali menjalani hariku, bersama orang-orang baru. Tapi tidak kutemui lagi orang yang bangun untuk tahajjud dimalam hari. Tidak ada yang dapat menggantikan gadisku. Bagaimana kabarnya sekarang? Sudah lama aku tidak melihatnya. Ah, ya.. bukankah besok pengumuman hasil UN? Dia pasti datang! Aku akan bertemu gadisku lagi! Tidak sabar menunggu hari esok.
Satu persatu alumni pesantren memasuki pekarangan, tapi tak kulihat juga gadisku. Kemana dia? Lama aku menunggu, mengamati orang yang bergantian keluar masuk pesantren. Aku masih menunggu, saat sebuah motor thunder biru memasuki gerbang.
Itu gadisku! Bahagia sekali aku tak melihatnya. Tapi dia bersama seorang pemuda, mesra sekali! Siapa dia? Suaminya kah? Gadisku sudah menikah?
Tidak! Pemuda itu bukan suaminya. Aku bisa melihat binary-binar itu di mata mereka. Seperti orang yang… Ah! Gadisku berpacaran? Aku tidak percaya! Kutatap wajah gadisku, dia semakin cantik saja. Tapi pakaiannya? Mengapa dia memakai pakaian seketat itu? Dan bajunya…. Astagfirullah, transparan sekali! Sampai jilbab mungil yang dipakainya tidak bisa menutupi lekuk tubuhnya.
Gadisku masuk, mendekati papan pengumuman, melirik sejenak sebelum tersenyum senang dan berpelukan dengan temannya. Gadiku lulus! Aku tahu itu! Tapi aku tak bisa senang, tak bisa ikut berbahagia dengannya. Terlebih saat pemuda dibelakangnya memanggil.
“Icha…. Cepat sedikit!”
Sejak kapan namanya berubah menjadi centil seperti itu? Gadisku berlari mengampiri pemuda itu dan dengan santainya memeluknya didepanku!
“Ya Rabb, apa yang terjadi dengan gadisku? Kemana hasil tahajjudnya selama ini? Dimana iman yang ia dapatkan selama 6 tahun disini?”
Sekarang gadisku melirikku sekilas, tanpa ekspresi apa-apa. Tak ada senyum apalagi mendekatiku. Tak ada! Dia hanya melirik sekilas sebelum naik ke motor dan merangkul pemuda yang bersamanya. Dan, dia membuka jilbabnya! Ya Tuhan!
Tiba-tiba aku merasa kehilangan dia. Bahkan aku mulai muak. Tak ada lagi gadisku yang dulu. Ah, aku muak, Aisyah! Bahkan bagiku dia tak pantas lagi menyandang nama mulia itu.
“Ya Rabb, adakah penjelasan untukku?”

* * * * * * * * * * *

Kupandangi tubuhku yang semakin rapuh dimakan usia. Sudah terdapat banyak kerusakan, tapi tak ada yang peduli. Bahkan gadisku yang selama in selalu kulindungi dengan tubuhku ini, tak lagi peduli padaku. Inikah balasan untukku?
Aku hanyalah sebuah asrama tua yang mulai terlupakan didalam sebuah pesantren yang mulai rapuh. Rapuh karena perjalanan yang melelahkan dari setiap periode. Kurasakan angin menerpa tubuhku, mencoba menghibur.
“Selamat jalan gadisku. Kau pergi menyisakan kecewa.”
Huh! Masih adakah gadis di luar sana yang masih teguh memegang syariat islam?


Diselesaikan di asrama 2
Rabu malam,21.11

0

kado untuk suci

Posted by Unknown in

“Assalamu Alaikum…” Suci membuka pintu dan melongok kedalam rumah yang sepi. “Mama?” teriaknya sambil membuka sepatu.
“Kak Mufthi?”  Kali ini Suci memutar gagang pintu kamar kakaknya, kosong. “masih kuliah kali ya?” Gumamnya pelan.
Suci baru saja membuka jilbab dan duduk disofa ruang tamu , ketika sesosok anak kecil berlari dengan tertatih kearahnya.
“Kak Suci…….uh….ahh….hulangh…..??” Anak kecil itu berusaha berjalan dengan kakinya yang tak seimbang, membuat tubuhnya limbung dan hamper terjatuh. “kak Suci ngahh haphall….?? Hani hunyahh mahananh…..”
Suci mengibaskan tangannya jijik. “Iya! Nih baru pulang. Dan Aku nggak lapar. Makan saja sendiri!” Ujar Suci ketus sambil beranjak menuju kamarnya.
“Ada apa lari-lari?” Tanya Mfthi heran. Mufthi baru saja keluar dari dapur . tangan kirinya memegang gelas dan di tangan kirinya sebuah piring kecil. “Rani mana?”
Suci mengernyit jengkel. “Tuh di ruang tamu. Suci nggak suka liat dia. Ngomong nggak jelas! Badan juga…Ihhh…..” suci sengaja tak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya mengangkat bahu.
“Suci!! Dia itu adik kamu!” mufthi menatap Suci, kesal dengan tingkah adiknya itu yang selalu memojokkan Rani, adik bungsu mereka.
“Adiknya Suci?? Ih…..Adiknya Kak Mufthi kale…..!!!” Suci meleletkan lidah sambil membanting pintu.
Mufthi tak menjawab lagi. Sudah terlalui sering mereka bertengkar  karena masalah yang sama, Rani.
Mufthi mengalihkan pandangannya pada Rani yang berdiri lesu, menunduk menatap kakinya yang bengkok dan pendek sebelah.
“Rani, makan yuk…Sama kak mufthi….” Mufthi meletakkan piring dan gelas dimeja, sebelum mengangkat tubuh kecil Rani keatas kursi dan mendudukkannya disana.
“Mahanh…..hama Kak Mufhii…? Ashhiiiihhh……” Rani melonjak senang sebelum kembali tertunduk. “Kak Suci helummhh hakanh..?? haphall……?”
Mufthi mengerti apa yang dikatakan Rani “Makan sama Kak Mufthi? Asik…! Kak Suci belum makan? Lapar?” Mufthi berusaha tersenyum. Rani selalu menanyakan Suci, selalu perhatian padanya. Nahkan satu-satunya nama yang bisa disebutkannya dengan benar hanya nama Suci. Nama Mufthi, Mama, bahkan namanya sendiri tidak bisa diucapkannya dengan benar. Mufthi menjadi Mufhi, Mama menjadi mmahh, dan Rani menjadi Hani.
“Kak Suci belum lapar…” Jawab Mufthi sambil tersenyum.
Rani mengangguk, mengunyah makanannya dengan semangat. “Enahh….” Ujarnya sambil memilin ujung bajunya yang mulai kusut.
* * *
Mufthi, Suchi dan Rani terlahir dari Ayah yang sama dan ibu yang berbeda. Ayah mereka menikah dengan orang lain tanpa izin dari Ibu. Hal itu ketahuan setelah seorang wanita yang masih sangat muda, datang ke rumah dengan membawa bayi.
Ayah yang saat itu berada di rumah, tidak mengatakan apa-apa. Tidak mengiyakan atau menyangkal. Dan itu menyebabkan sebuah pertengkaran hebat antara Suci dan Ayah. Mufthi hanya bisa menenangkan Ibu yang masih menangis.
Pertengkaran itu berakhir setelah Ayah menampar Suci kemudian pergi bersama wanita itu tanpa membawa bayi mereka. Itulah terakhir kalinya mereka bertemu dengan Ayah.
Dan Ibu dengan segala kerendahan hatinya menerima bayi itu, merawatnya, dan memberinya nama. Rani. Ibu tidak peduli dengan semua bentuk protes dari Suci. Ibu tetap membesarkannya seperti anaknya sendiri meski bayi tersebut menderita kelainan.
Pertumbuhan Rani terlambat. Saat ini seharusnya Rani sudah duduk di kelas 5 SD. Tapi tubuhnya masih seperti anak TK yang kecil. Kaki Rani tidak seimbang, kaki sebelah kanannya lebih pendek dan kecil, membuatnya sulit berjalan normal. Rani juga belum bisa mengurus dirinya sendiri, tangannya tidak bisa menggenggam benda, jari-jarinya selalu bergetar dan lemah. Belum lagi suara Rani yang sengau dan kata-kata yang tidak bisa disebutkan dengan benar. Satu-satunya kebanggaan Rani yang tidak disadarinya adalah wajahnya yang manis, putih bersih.
Sementara itu, Suci samasekali menutup mata pada Rani. Suci selalu melampiaskan sakit hatinya pada Rani. Luka hati yang ditorehkan ayahnya membuat Suci begitu membenci Rani. Menurutnya, Rani adalah penyebab ayahnya pergi. Suci menutup matanya hingga samasekali tidak menyadari kemiripannya dengan Rani. Mereka berdua mewarisi ketampanan Ayah dan kulit putihnya. Sementara Mufthi lebih mirip Ibu, dengan kulit hitam manisnya dengan segala kesabaran dari Ibu.
Mufthi terlahir dengan “fotocopy” dari Ibu. Wajah, sifat, dan tingkahnya sama persis dengan Ibunya. Bertolak belakang dengan Suci yang selalu menolak kehadiran Rani, Mufthi samasekali tidak keberatan dengan keadaan Rani. Mufthi memahami keadaan Suci, yang mungkin masih labil, mengingat usianya yang menginjak 17 tahun. Dan Mufthi, yang memasuki tahun ketiga kuliah, jauh lebih dewasa dari Suci, dan memang seharusnya seperti itu.
* * *

Hari Minggu yang cerah, tapi rumah itu masih sepi. Suci dan Rani masih tidur lelap setelah shalat shubuh tadi. Ibu mereka sedang memasak di dapur. Sudah menjadi kewajiban baginya disetiap hari libur untuk memasak makanan di rumah. Membalas kesibukannya di kantoe selama seminggu itu.
”Mufthi, bangunin adik kamu. Nggak baik tidur pagi kayak gini.” Ujar Ibu saat melihat Mfthi keluar dari kamar mandi.
“Oke,Ma…” jawabnya singkat.
Tidak sampai 10 menit saat Mufthi muncul kembali di dapur dengan menggendong Rani. Suci menyusul dibelakangnya dengan wajah kusut.
“Mmaahhh….mhasahh…..ahhaaa…?” suara Rani yang sengau memcah keheningan.
“Mama lagi masak goreng buat Rani, nih…”
Rani langsung melonjak senang, membuat Mufthi kewalahan menggendongnya. “Bhuathh Haniihh….??” Tanyanya sambil tersenyum. “Kak Suci?” kali ini Rani melirik Suci.
“Ihh…sok care! Sok imut!” ledek Suci sambil mendorong kepala Rani dengan telunjuknya, sebelum beranjak mengambil air minum.
Rani langsung diam, menunduk dan menahan air matanya. Pemandangan itu selalu membuat hati Mufthi miris. Ekspresi Rani selalu begitu bila Suci meledek atau menyekiti hatinya.
“Suci!! Lama-lama Kakak jadi muak liat kelakuan kamu!” bentak Mufthi.
Suci tersentak. Tidak pernah didengarnya Mufthi membentak seperti itu. Selama ini Mufthi diam dan sabar.
“Kenapa!!” suci berbalik, menantang Mufthi.
Mufthi baru saja akan membalas, saat ibunya member isyarat untuk tenang. “Suatu saat kamu pasti nyesal.” Gumam Mufthi saat beranjak , saat ibunya member isyarat untuk tenang. “Suatu saat kamu pasti nyesal.” Gumam Mufthi saat beranjak menjauh dengan tetap menggendong Rani.
Rani menatap Suci, tersenyum. “Kak Suci…”
“Huh!!” suci mendengus, menatap Rani dengan pandangan sinisnya, yang membuat rani diam dan menunduk lagi.
“Suci…. Mama nggak pernah ngajarin kamu bertingkah kayak gini. Kekanak-kanakan.”
Suci mendelik, tapi tidak protes. Rasa segannya pada Ibu masih lebih tinggi daripada egonya.
“Rani itu masih kecil, dia nggak tau apa-apa. Dia nggak bersalah. Coba deh, kamu pikir… dengan segala kekurangannya, ditambah dengan sikap kamu… perkembangan Rani nggak akan baik.”
Suci masih diam.
“Tolong, nak…. Rubah sikap kamu. Suci yang mama kenal itu Suci yang baik hati… bukan Suci yang angkuh…”
“SUDAH!!! SUCI TETAP NGGAK SUKA KALAU RANI ADA DISINI!!! MALU-MALUIN!!!”
Ibu menghentikan kegiatan masaknya, berbalik menatap Suci. “Sekali lagi Mama bilangin, Rani nggak bersalah… apa yang bikin kamu benci setengah mati? MALU-MALUIN!!!”
Ibu menghentikan kegiatan masaknya, berbalik menatap Suci. “Sekali lagi Mama bilangin, Rani nggak bersalah… apa yang bikin kamu benci setengah mati?? Dia nggak tau apa-apa, sayang…” Ibu berusaha menekan suaranya serendah mungkin.
Suci mendengus, melupakan rasa segannya pada Ibunya. “Bagaimana bisa mama bilang dia nggak bersalah?! Gara-gara Dia Papa pergi!! Bagaimana bisa Suci saying sama Rani?! Bagaimana caranya, Ma?? Suci nggak mau liat orang yang bikin papa pergi………… hidup bahagia!! Suci nggak mau liat dia bahagia!!”
Hening…..
Lantas setelah semua yang kamu lakukan pada Rani, kekesalan kamu sirna? Apa semua itu bisa bikin Papa balik lagi??!!” Ibu berusaha menekan perasaannya. “Rani nggak bersalah…”
Suci memalingkan pandangannya, galau. Dalam hati, Suci membenarkan perkataan Ibunya. Bayangan Rani berkelebat didalam fikirannya. Sebersit rasa bersalah membayangi hatinya. Suci masih ingat, beberapa saat yang lalu dia pernah mengunci pintu kamar rani dari luar dan membiarkan anak itu berteriak dengan suaranya yang sengau dan menangis sampai Mufthi pulang kuliah. Suci juga pernah membongkar mainan Rani dan membiarkannya berserakan dilantai, membuat Rani limbung karena kakinya tidak bisa mengatur keseimbangan tubuh dan terjatuh. Saat itu tangisan Ranim samasekali tidak membuat hati Suci luluh. Dia malah tersenyum puas. Bahkan Suci pernah menjewer dan memukul Rani, hanya karena anak itu tak sengaja menumpahkan air di jilbab Suci yang putih. Dan sekali lagi tangisan Rani membuat Suci tersenyum.
Hanya saja, Suci memang harus mengakui bahwa semua itu tidak pernah membuat hatinya tenang, dan tentu saja tidak bisa membuat ayhnya kembali. Tapi sebuah suara dalam hatinya berontak. “Semua ini slah Dia! Salah Rani!”
“Maafin Rani, lupakan semuanya….” Ucapan Ibu membuyarkan lamunan Suci. “Dia saying kamu… dia selalu perhatian sama kamu, bahkan Cuma nama kamu yang bisa dia sebut dengan benar.. sadar, Suci… rani itu mau sedikit perhatian dari kamu, sedikit saja..”
Suci mendengus lagi, mengutamakan egonya. “Suci benci Rani!!! Dulu, sekarang, dan selamanya!!!” bentaknya sebelum meninggalkan dapur.
“Suatu saat kamu akan sadar… dan menyesal, nak..”
Suci tidak lagi menghiraukan kata-kata Ibunya.
“Kak Suci….” Rani berlari tertatih kea rah Suci, meninggalkan mainannya tanpau bisa dicegah oleh Mufthi.
Suci tidak memperdulikannya, bahkan tatapan Mufthi yang seolah mengatakan-“Liat, dia samasekali tidak menaruh dendam!”- tidak dihiraukannya.
Suci malah membanting pintu tepat pada saat Rani berada didepannya. Membuat anak kecil itu limbung dan jatuh.
“SUCII!!!!!” mufthi tidak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak berteriak “KAMU…..” kata-katanya terputus, perhatiannya beralih pada Rani. Mufthi menghela nafas iba.
* * *
“Kak Suci….” Rani berlari menyambut Suci yang baru datang dari sekolah. “Kak Suci…. Hanihh Mauhhh nanyahhh…..” ranim kembali berlari tertatih mengikuti langkah Suci yang panjang.
Mufthi melirik dengan ekor matanya, iba pada Rani yang kesusahan menjaga keseimbangan tubuhnya. Mufthi mendelik pada Suci, enggan menegur. Mereka tidak pernah saling sapa sejak kejadian di dapur beberapa hari yang lalu. Suci juga enggan berbaik-baik pada Ibu. Hubungan mereka menjadi renggang. Hanya Rani yang tetap mengejar Suci seperti biasanya, tidak terbebani dengan kejudesan Suci.
“Kak Suci… hesokhh ulanghhh tahhuunhh….. mhauuhh hadohhh apahhhh…..” rani masih berlari dibelakang Suci dengan nafas terengah-engah. Membuat suaranya semakin sengau.
Suci diam. Besok ulang tahunnya? Ah…. Dia saja sampai lupa. Mufthi dan Mama juga. Tapi Rani, Dia ingat. Dan apa dia bilang? Mau beli kado? Sebersit rasa haru menyelinap dalam hatinya, tapi segera ditepis jauh-jauh.
Suci berbalik menatap Rani yang langsung tersenyum lebar melihat Suci berhenti berjalan. “Mau beli kado?? Ngomong saja nggak becus!! Jalan nggak normal!! Mau beli kado gimana, hah?!” bentak Suci, sukses membuat senyum Rani terhapus. “Nggak butuh!!” suci mendorong tubuh kecil Rani, membuatnya terjengkang kebelakang, jatuh diatas lantai. Suci tidak peduli, malah berbalik dan membanting pintu kamarnya.
“Hanihh pastihh bhishaahh….” Gumam Rani disela isak tangisnya.
Mufthi berlari mengangkat tubuh Rani. Tidak lagi terdengar omelan dari mulutnya. Mufthi terlalu lelah untuk menanggapi sikap Suci yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Kak Mufhii mhauuu hekihh aphaa huathhh kak Suci?” Tanya Rani, isaknya tak lagi terdengar.
Mufthi diam tak tau harus menjawab apa.
* * *
Suci terbangun saat suara gedor dipintu kamarnya semakin keras. “Hoahhhmmmm….” Suci menggeliat, diriknya jam didinding kamarnya. 20.15. suci berusaha membuka matanya yang berat. Dia tertidur setelah shalat isya tadi.
“Sebentarr….” Gumam Suci sebelum beranjak membuka pintu.
“Suci, Rani nggak ada!!” semprot Mufthi panic.
“Ah,,palingan lagi ngumpet.” Jawab Suci malas.
Mufthi menghela nafas. “Nggak ada!”
“Didapur kali..” jawabnya lagi, asal-asalan. Suci ingat, RAni pernah masuk kebawah lemari dapur dan tertidur disana.
“Nggak ada.. seluruh rumah udah digeledah… dan nggak ada…” bentak Mufthi putus asa.
Suci menyambar jilbabnya, mengikuti Mufthi dengan langkah gontai. Mufthi membuka pintu depan, mencari Rani keluar rumah. Sementara Suci iseng membuka kamar Rani, masuk kedalamnya.
Reflex Suci tersenyum. Kamar Rani cukup Rapi. Suci mengalihkan pandangannya pada dinding. Ada gambar acak-acakan yang tertempel disana. Suci mendekat mengamati gambar itu dari dekat.
Ada gambar wajah berjilbab dengan anak kecil dipelukannya. “Cukup bagus” gumam Suci mengingat kondisi tangan Rani yang lemah. Dibawah gambar itu tertulis. Mama sayang Rani.
Suci mengamati gambar acak-acakan itu satu persatu. Ada banyak gambar disana, tapi tak ada satupun gambar itu member keterangan tentang Suci. Dia mengeluh, mungkin Rani mulai membencinya. Tapi detik berikutnya Suci tidak bisa membendung air matanya.
Disisi lain, dekat jendela ada kertas karton ukuran besar dengan gambar anak kecil dengan gambar cewek berjilbab. Dibawahnya ada tulisan. “Rani dan Kak Suci. Rani sayang Kak Suci.kak Suci yang paling baik, cantik, dan suit.”
 Suci tersenyum singkat, kata ‘suit’ pasti dimaksud ‘sweet’. Suci mengalihkan pandangannya pada meja disamping ranjang. Ada pigura kecil disana. Suci mendekat melihatnya. Kali ini Suci terisak pelan. Ada segelitir sesal dan haru dihatinya. Pigura itu berisi fotonya dan Rani yang sepertinya diambil tanpa sepengetahuannya. Suci terisak lebih dalam. Sebesar itukah rasa sayang Rani padanya? Dan semua tingkah Suci padanya.
“Hiks…” suci menghapus air matanya. Pandangannya tertuju pada jendela yang terbuka lebar. Ada kursi kecil dibawah jendela.
Suci tersentak, sebuah kesadaran menyelinap. “Ah… Rani?” suci berlari keluar kamar menghambur mencari Mufthi. Suci yakin Rani keluar lewat jendela entah kemana.
“Kak Mufthi…” suci menatap halan rumahnya yang ramai. Terdengar isak pelan Ibunya. Mufthi terduduk diteras Rumah.
“Ini kan anak yang tadi membeli kertas kado di rumah saya. Minta bungkusin kado, katanya…” celetuk seorang Ibu. “Ketabrak mobil ya…?”
Suci menghampiri Mufthi. “Kak Mufthi ada apa?” suci mengalihkan pandangannya pada orang yang berkumpul dihalaman. Mereka mengerumuni sebuah tandu.
Suci mendekat dan tangisnya langsung pecah. Diatas tandu itu Rani tergolek tak berdaya, bersimbah darah. Suci menjatuhkan diri disamping Rani. Ditatapnya wajah Rani dengan penuh sesal. Baru disadarinya, Dia tidak ingin Rani pergi! Tiba-tiba Suci rindu pada suara sengau Rani. Rindu pada sosoknya yang berlari limbung menyambutnya saat pulang sekolah, dan rindu pada panggilan pelan Rani.
“Rani,,, bangun…” Gumam Suci disela isak tangisnya. Tak ada reaksi. Tubuh itu tetap tergolek kaku.
“Mbak.. maaf…. Ini punya adik itu….” Seorang bapak tua menyerahkan sebuah bungkusan kado berwarna biru.
Suci membuka dengan kasar dan terburu-buru. Kertas itu berisi bingkai foto. Foto Suci yang sedang tersenyum, dan foto Rani yang memasang senyum usilnya. Suci baru menyadari betapa miripnya mereka berdua.
“Selamat ulang tahun. Rani sayang Kak Suci.”
Tulisan itu membuat tangis Suci pecah, merasa bersalah. Jadi ini yang membuat Rani keluar dan tertabrak. Terngiang ucapan Rani tadi siang. “Hanihh,,,, pasthihh bishaahhh…..”
“Ini tidak adil!!” suci berteriak gusar. Saat Ia mulai bisa menerima Rani, mengapa dia pergi?
“Suatu saat kamu akan sadar. Dan akan menyesal.” Suci teringat ucapan Ibu.
Yah, Suci menyesal, sangat bersalah. Tangisnya kembali pecah.

Diselesaikan di asrama 2
Selasa, 08 Januari 2011
22.27


Copyright © 2009 ZONA IYRNA All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.