“Assalamu Alaikum…” Suci membuka pintu dan melongok kedalam rumah yang sepi. “Mama?” teriaknya sambil membuka sepatu.
“Kak Mufthi?” Kali ini Suci memutar gagang pintu kamar kakaknya, kosong. “masih kuliah kali ya?” Gumamnya pelan.
Suci baru saja membuka jilbab dan duduk disofa ruang tamu , ketika sesosok anak kecil berlari dengan tertatih kearahnya.
“Kak Suci…….uh….ahh….hulangh…..??” Anak kecil itu berusaha berjalan dengan kakinya yang tak seimbang, membuat tubuhnya limbung dan hamper terjatuh. “kak Suci ngahh haphall….?? Hani hunyahh mahananh…..”
Suci mengibaskan tangannya jijik. “Iya! Nih baru pulang. Dan Aku nggak lapar. Makan saja sendiri!” Ujar Suci ketus sambil beranjak menuju kamarnya.
“Ada apa lari-lari?” Tanya Mfthi heran. Mufthi baru saja keluar dari dapur . tangan kirinya memegang gelas dan di tangan kirinya sebuah piring kecil. “Rani mana?”
Suci mengernyit jengkel. “Tuh di ruang tamu. Suci nggak suka liat dia. Ngomong nggak jelas! Badan juga…Ihhh…..” suci sengaja tak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya mengangkat bahu.
“Suci!! Dia itu adik kamu!” mufthi menatap Suci, kesal dengan tingkah adiknya itu yang selalu memojokkan Rani, adik bungsu mereka.
“Adiknya Suci?? Ih…..Adiknya Kak Mufthi kale…..!!!” Suci meleletkan lidah sambil membanting pintu.
Mufthi tak menjawab lagi. Sudah terlalui sering mereka bertengkar karena masalah yang sama, Rani.
Mufthi mengalihkan pandangannya pada Rani yang berdiri lesu, menunduk menatap kakinya yang bengkok dan pendek sebelah.
“Rani, makan yuk…Sama kak mufthi….” Mufthi meletakkan piring dan gelas dimeja, sebelum mengangkat tubuh kecil Rani keatas kursi dan mendudukkannya disana.
“Mahanh…..hama Kak Mufhii…? Ashhiiiihhh……” Rani melonjak senang sebelum kembali tertunduk. “Kak Suci helummhh hakanh..?? haphall……?”
Mufthi mengerti apa yang dikatakan Rani “Makan sama Kak Mufthi? Asik…! Kak Suci belum makan? Lapar?” Mufthi berusaha tersenyum. Rani selalu menanyakan Suci, selalu perhatian padanya. Nahkan satu-satunya nama yang bisa disebutkannya dengan benar hanya nama Suci. Nama Mufthi, Mama, bahkan namanya sendiri tidak bisa diucapkannya dengan benar. Mufthi menjadi Mufhi, Mama menjadi mmahh, dan Rani menjadi Hani.
“Kak Suci belum lapar…” Jawab Mufthi sambil tersenyum.
Rani mengangguk, mengunyah makanannya dengan semangat. “Enahh….” Ujarnya sambil memilin ujung bajunya yang mulai kusut.
* * *
Mufthi, Suchi dan Rani terlahir dari Ayah yang sama dan ibu yang berbeda. Ayah mereka menikah dengan orang lain tanpa izin dari Ibu. Hal itu ketahuan setelah seorang wanita yang masih sangat muda, datang ke rumah dengan membawa bayi.
Ayah yang saat itu berada di rumah, tidak mengatakan apa-apa. Tidak mengiyakan atau menyangkal. Dan itu menyebabkan sebuah pertengkaran hebat antara Suci dan Ayah. Mufthi hanya bisa menenangkan Ibu yang masih menangis.
Pertengkaran itu berakhir setelah Ayah menampar Suci kemudian pergi bersama wanita itu tanpa membawa bayi mereka. Itulah terakhir kalinya mereka bertemu dengan Ayah.
Dan Ibu dengan segala kerendahan hatinya menerima bayi itu, merawatnya, dan memberinya nama. Rani. Ibu tidak peduli dengan semua bentuk protes dari Suci. Ibu tetap membesarkannya seperti anaknya sendiri meski bayi tersebut menderita kelainan.
Pertumbuhan Rani terlambat. Saat ini seharusnya Rani sudah duduk di kelas 5 SD. Tapi tubuhnya masih seperti anak TK yang kecil. Kaki Rani tidak seimbang, kaki sebelah kanannya lebih pendek dan kecil, membuatnya sulit berjalan normal. Rani juga belum bisa mengurus dirinya sendiri, tangannya tidak bisa menggenggam benda, jari-jarinya selalu bergetar dan lemah. Belum lagi suara Rani yang sengau dan kata-kata yang tidak bisa disebutkan dengan benar. Satu-satunya kebanggaan Rani yang tidak disadarinya adalah wajahnya yang manis, putih bersih.
Sementara itu, Suci samasekali menutup mata pada Rani. Suci selalu melampiaskan sakit hatinya pada Rani. Luka hati yang ditorehkan ayahnya membuat Suci begitu membenci Rani. Menurutnya, Rani adalah penyebab ayahnya pergi. Suci menutup matanya hingga samasekali tidak menyadari kemiripannya dengan Rani. Mereka berdua mewarisi ketampanan Ayah dan kulit putihnya. Sementara Mufthi lebih mirip Ibu, dengan kulit hitam manisnya dengan segala kesabaran dari Ibu.
Mufthi terlahir dengan “fotocopy” dari Ibu. Wajah, sifat, dan tingkahnya sama persis dengan Ibunya. Bertolak belakang dengan Suci yang selalu menolak kehadiran Rani, Mufthi samasekali tidak keberatan dengan keadaan Rani. Mufthi memahami keadaan Suci, yang mungkin masih labil, mengingat usianya yang menginjak 17 tahun. Dan Mufthi, yang memasuki tahun ketiga kuliah, jauh lebih dewasa dari Suci, dan memang seharusnya seperti itu.
* * *
Hari Minggu yang cerah, tapi rumah itu masih sepi. Suci dan Rani masih tidur lelap setelah shalat shubuh tadi. Ibu mereka sedang memasak di dapur. Sudah menjadi kewajiban baginya disetiap hari libur untuk memasak makanan di rumah. Membalas kesibukannya di kantoe selama seminggu itu.
”Mufthi, bangunin adik kamu. Nggak baik tidur pagi kayak gini.” Ujar Ibu saat melihat Mfthi keluar dari kamar mandi.
“Oke,Ma…” jawabnya singkat.
Tidak sampai 10 menit saat Mufthi muncul kembali di dapur dengan menggendong Rani. Suci menyusul dibelakangnya dengan wajah kusut.
“Mmaahhh….mhasahh…..ahhaaa…?” suara Rani yang sengau memcah keheningan.
“Mama lagi masak goreng buat Rani, nih…”
Rani langsung melonjak senang, membuat Mufthi kewalahan menggendongnya. “Bhuathh Haniihh….??” Tanyanya sambil tersenyum. “Kak Suci?” kali ini Rani melirik Suci.
“Ihh…sok care! Sok imut!” ledek Suci sambil mendorong kepala Rani dengan telunjuknya, sebelum beranjak mengambil air minum.
Rani langsung diam, menunduk dan menahan air matanya. Pemandangan itu selalu membuat hati Mufthi miris. Ekspresi Rani selalu begitu bila Suci meledek atau menyekiti hatinya.
“Suci!! Lama-lama Kakak jadi muak liat kelakuan kamu!” bentak Mufthi.
Suci tersentak. Tidak pernah didengarnya Mufthi membentak seperti itu. Selama ini Mufthi diam dan sabar.
“Kenapa!!” suci berbalik, menantang Mufthi.
Mufthi baru saja akan membalas, saat ibunya member isyarat untuk tenang. “Suatu saat kamu pasti nyesal.” Gumam Mufthi saat beranjak , saat ibunya member isyarat untuk tenang. “Suatu saat kamu pasti nyesal.” Gumam Mufthi saat beranjak menjauh dengan tetap menggendong Rani.
Rani menatap Suci, tersenyum. “Kak Suci…”
“Huh!!” suci mendengus, menatap Rani dengan pandangan sinisnya, yang membuat rani diam dan menunduk lagi.
“Suci…. Mama nggak pernah ngajarin kamu bertingkah kayak gini. Kekanak-kanakan.”
Suci mendelik, tapi tidak protes. Rasa segannya pada Ibu masih lebih tinggi daripada egonya.
“Rani itu masih kecil, dia nggak tau apa-apa. Dia nggak bersalah. Coba deh, kamu pikir… dengan segala kekurangannya, ditambah dengan sikap kamu… perkembangan Rani nggak akan baik.”
Suci masih diam.
“Tolong, nak…. Rubah sikap kamu. Suci yang mama kenal itu Suci yang baik hati… bukan Suci yang angkuh…”
“SUDAH!!! SUCI TETAP NGGAK SUKA KALAU RANI ADA DISINI!!! MALU-MALUIN!!!”
Ibu menghentikan kegiatan masaknya, berbalik menatap Suci. “Sekali lagi Mama bilangin, Rani nggak bersalah… apa yang bikin kamu benci setengah mati? MALU-MALUIN!!!”
Ibu menghentikan kegiatan masaknya, berbalik menatap Suci. “Sekali lagi Mama bilangin, Rani nggak bersalah… apa yang bikin kamu benci setengah mati?? Dia nggak tau apa-apa, sayang…” Ibu berusaha menekan suaranya serendah mungkin.
Suci mendengus, melupakan rasa segannya pada Ibunya. “Bagaimana bisa mama bilang dia nggak bersalah?! Gara-gara Dia Papa pergi!! Bagaimana bisa Suci saying sama Rani?! Bagaimana caranya, Ma?? Suci nggak mau liat orang yang bikin papa pergi………… hidup bahagia!! Suci nggak mau liat dia bahagia!!”
Hening…..
Lantas setelah semua yang kamu lakukan pada Rani, kekesalan kamu sirna? Apa semua itu bisa bikin Papa balik lagi??!!” Ibu berusaha menekan perasaannya. “Rani nggak bersalah…”
Suci memalingkan pandangannya, galau. Dalam hati, Suci membenarkan perkataan Ibunya. Bayangan Rani berkelebat didalam fikirannya. Sebersit rasa bersalah membayangi hatinya. Suci masih ingat, beberapa saat yang lalu dia pernah mengunci pintu kamar rani dari luar dan membiarkan anak itu berteriak dengan suaranya yang sengau dan menangis sampai Mufthi pulang kuliah. Suci juga pernah membongkar mainan Rani dan membiarkannya berserakan dilantai, membuat Rani limbung karena kakinya tidak bisa mengatur keseimbangan tubuh dan terjatuh. Saat itu tangisan Ranim samasekali tidak membuat hati Suci luluh. Dia malah tersenyum puas. Bahkan Suci pernah menjewer dan memukul Rani, hanya karena anak itu tak sengaja menumpahkan air di jilbab Suci yang putih. Dan sekali lagi tangisan Rani membuat Suci tersenyum.
Hanya saja, Suci memang harus mengakui bahwa semua itu tidak pernah membuat hatinya tenang, dan tentu saja tidak bisa membuat ayhnya kembali. Tapi sebuah suara dalam hatinya berontak. “Semua ini slah Dia! Salah Rani!”
“Maafin Rani, lupakan semuanya….” Ucapan Ibu membuyarkan lamunan Suci. “Dia saying kamu… dia selalu perhatian sama kamu, bahkan Cuma nama kamu yang bisa dia sebut dengan benar.. sadar, Suci… rani itu mau sedikit perhatian dari kamu, sedikit saja..”
Suci mendengus lagi, mengutamakan egonya. “Suci benci Rani!!! Dulu, sekarang, dan selamanya!!!” bentaknya sebelum meninggalkan dapur.
“Suatu saat kamu akan sadar… dan menyesal, nak..”
Suci tidak lagi menghiraukan kata-kata Ibunya.
“Kak Suci….” Rani berlari tertatih kea rah Suci, meninggalkan mainannya tanpau bisa dicegah oleh Mufthi.
Suci tidak memperdulikannya, bahkan tatapan Mufthi yang seolah mengatakan-“Liat, dia samasekali tidak menaruh dendam!”- tidak dihiraukannya.
Suci malah membanting pintu tepat pada saat Rani berada didepannya. Membuat anak kecil itu limbung dan jatuh.
“SUCII!!!!!” mufthi tidak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak berteriak “KAMU…..” kata-katanya terputus, perhatiannya beralih pada Rani. Mufthi menghela nafas iba.
* * *
“Kak Suci….” Rani berlari menyambut Suci yang baru datang dari sekolah. “Kak Suci…. Hanihh Mauhhh nanyahhh…..” ranim kembali berlari tertatih mengikuti langkah Suci yang panjang.
Mufthi melirik dengan ekor matanya, iba pada Rani yang kesusahan menjaga keseimbangan tubuhnya. Mufthi mendelik pada Suci, enggan menegur. Mereka tidak pernah saling sapa sejak kejadian di dapur beberapa hari yang lalu. Suci juga enggan berbaik-baik pada Ibu. Hubungan mereka menjadi renggang. Hanya Rani yang tetap mengejar Suci seperti biasanya, tidak terbebani dengan kejudesan Suci.
“Kak Suci… hesokhh ulanghhh tahhuunhh….. mhauuhh hadohhh apahhhh…..” rani masih berlari dibelakang Suci dengan nafas terengah-engah. Membuat suaranya semakin sengau.
Suci diam. Besok ulang tahunnya? Ah…. Dia saja sampai lupa. Mufthi dan Mama juga. Tapi Rani, Dia ingat. Dan apa dia bilang? Mau beli kado? Sebersit rasa haru menyelinap dalam hatinya, tapi segera ditepis jauh-jauh.
Suci berbalik menatap Rani yang langsung tersenyum lebar melihat Suci berhenti berjalan. “Mau beli kado?? Ngomong saja nggak becus!! Jalan nggak normal!! Mau beli kado gimana, hah?!” bentak Suci, sukses membuat senyum Rani terhapus. “Nggak butuh!!” suci mendorong tubuh kecil Rani, membuatnya terjengkang kebelakang, jatuh diatas lantai. Suci tidak peduli, malah berbalik dan membanting pintu kamarnya.
“Hanihh pastihh bhishaahh….” Gumam Rani disela isak tangisnya.
Mufthi berlari mengangkat tubuh Rani. Tidak lagi terdengar omelan dari mulutnya. Mufthi terlalu lelah untuk menanggapi sikap Suci yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Kak Mufhii mhauuu hekihh aphaa huathhh kak Suci?” Tanya Rani, isaknya tak lagi terdengar.
Mufthi diam tak tau harus menjawab apa.
* * *
Suci terbangun saat suara gedor dipintu kamarnya semakin keras. “Hoahhhmmmm….” Suci menggeliat, diriknya jam didinding kamarnya. 20.15. suci berusaha membuka matanya yang berat. Dia tertidur setelah shalat isya tadi.
“Sebentarr….” Gumam Suci sebelum beranjak membuka pintu.
“Suci, Rani nggak ada!!” semprot Mufthi panic.
“Ah,,palingan lagi ngumpet.” Jawab Suci malas.
Mufthi menghela nafas. “Nggak ada!”
“Didapur kali..” jawabnya lagi, asal-asalan. Suci ingat, RAni pernah masuk kebawah lemari dapur dan tertidur disana.
“Nggak ada.. seluruh rumah udah digeledah… dan nggak ada…” bentak Mufthi putus asa.
Suci menyambar jilbabnya, mengikuti Mufthi dengan langkah gontai. Mufthi membuka pintu depan, mencari Rani keluar rumah. Sementara Suci iseng membuka kamar Rani, masuk kedalamnya.
Reflex Suci tersenyum. Kamar Rani cukup Rapi. Suci mengalihkan pandangannya pada dinding. Ada gambar acak-acakan yang tertempel disana. Suci mendekat mengamati gambar itu dari dekat.
Ada gambar wajah berjilbab dengan anak kecil dipelukannya. “Cukup bagus” gumam Suci mengingat kondisi tangan Rani yang lemah. Dibawah gambar itu tertulis. Mama sayang Rani.
Suci mengamati gambar acak-acakan itu satu persatu. Ada banyak gambar disana, tapi tak ada satupun gambar itu member keterangan tentang Suci. Dia mengeluh, mungkin Rani mulai membencinya. Tapi detik berikutnya Suci tidak bisa membendung air matanya.
Disisi lain, dekat jendela ada kertas karton ukuran besar dengan gambar anak kecil dengan gambar cewek berjilbab. Dibawahnya ada tulisan. “Rani dan Kak Suci. Rani sayang Kak Suci.kak Suci yang paling baik, cantik, dan suit.”
Suci tersenyum singkat, kata ‘suit’ pasti dimaksud ‘sweet’. Suci mengalihkan pandangannya pada meja disamping ranjang. Ada pigura kecil disana. Suci mendekat melihatnya. Kali ini Suci terisak pelan. Ada segelitir sesal dan haru dihatinya. Pigura itu berisi fotonya dan Rani yang sepertinya diambil tanpa sepengetahuannya. Suci terisak lebih dalam. Sebesar itukah rasa sayang Rani padanya? Dan semua tingkah Suci padanya.
“Hiks…” suci menghapus air matanya. Pandangannya tertuju pada jendela yang terbuka lebar. Ada kursi kecil dibawah jendela.
Suci tersentak, sebuah kesadaran menyelinap. “Ah… Rani?” suci berlari keluar kamar menghambur mencari Mufthi. Suci yakin Rani keluar lewat jendela entah kemana.
“Kak Mufthi…” suci menatap halan rumahnya yang ramai. Terdengar isak pelan Ibunya. Mufthi terduduk diteras Rumah.
“Ini kan anak yang tadi membeli kertas kado di rumah saya. Minta bungkusin kado, katanya…” celetuk seorang Ibu. “Ketabrak mobil ya…?”
Suci menghampiri Mufthi. “Kak Mufthi ada apa?” suci mengalihkan pandangannya pada orang yang berkumpul dihalaman. Mereka mengerumuni sebuah tandu.
Suci mendekat dan tangisnya langsung pecah. Diatas tandu itu Rani tergolek tak berdaya, bersimbah darah. Suci menjatuhkan diri disamping Rani. Ditatapnya wajah Rani dengan penuh sesal. Baru disadarinya, Dia tidak ingin Rani pergi! Tiba-tiba Suci rindu pada suara sengau Rani. Rindu pada sosoknya yang berlari limbung menyambutnya saat pulang sekolah, dan rindu pada panggilan pelan Rani.
“Rani,,, bangun…” Gumam Suci disela isak tangisnya. Tak ada reaksi. Tubuh itu tetap tergolek kaku.
“Mbak.. maaf…. Ini punya adik itu….” Seorang bapak tua menyerahkan sebuah bungkusan kado berwarna biru.
Suci membuka dengan kasar dan terburu-buru. Kertas itu berisi bingkai foto. Foto Suci yang sedang tersenyum, dan foto Rani yang memasang senyum usilnya. Suci baru menyadari betapa miripnya mereka berdua.
“Selamat ulang tahun. Rani sayang Kak Suci.”
Tulisan itu membuat tangis Suci pecah, merasa bersalah. Jadi ini yang membuat Rani keluar dan tertabrak. Terngiang ucapan Rani tadi siang. “Hanihh,,,, pasthihh bishaahhh…..”
“Ini tidak adil!!” suci berteriak gusar. Saat Ia mulai bisa menerima Rani, mengapa dia pergi?
“Suatu saat kamu akan sadar. Dan akan menyesal.” Suci teringat ucapan Ibu.
Yah, Suci menyesal, sangat bersalah. Tangisnya kembali pecah.
Diselesaikan di asrama 2
Selasa, 08 Januari 2011
22.27